ANAK LAUT
oleh: Dimas Ihsan Rashidi (12914021)
(suatu siang di kota Malang)
Saya: “Kemana nih? Bosen. Buka puasa masih lama pula.”
Darmo: “Mau ke Sempu gak?”
Saya: “Sempu? Apaan tuh?”
Darmo: “Itu lah pulau di selatan. Nyebrang dari Sendang
Biru.”
Saya: “Ada apa aja disana?”
Rifqi: “Coba aja cari di internet.”
(beberapa menit setelah berselancar di internet)
Saya: “Berangkat!”
Begitulah. Hanya 1 jam setelah saya menginjakan kaki di
Bumi Arema, saya dan 3 teman langsung bergegas berangkat ke pantai Sendang
Biru, di selatan kota Malang. Perjalanan dari Kecamatan Sawo Djajar ke Sendang
Biru kurang lebih ditempuh dalam waktu 2,5-3 jam menggunakan sepeda motor. Saya
berboncengan dengan teman saya bernama Darmo, sedangkan teman saya yang lain
yaitu Rifqi dan Nui, dimotor yang lain.
“Gantian gak?”. Tanya saya ketika kami beristirahat
sholat dzuhur di jalan.
“Aduh jari gua!
Panas!” Reaksi Darmo ketika dia secara sadar memegang cakram rem depan motor
setelah melewati banyak turunan
“Eh mo, Rifqi sama Nui ketinggalan kayaknya.”
Singkat cerita, setelah melewati perjalanan penuh drama,
kami pun sampai di Pantai Sendang Biru. Pantai yang ramai akan perahu-perahu
nelayan, dan sepi akan pengunjung. Waktu itu pantai ini mungkin belum sepopuler
sekarang. Kemudian kami pun langsung mencari nelayan yang membuka jasa
penyebrangan.
“Pak nyebrang ke pulau berapa pak?”, tanya saya pada
salah satu nelayan yang sepertinya baik.
“150 ribu dek per orangnya.”, jawab bapak nelayan
tersebut.
“Oh, 150 ya pak”, tanggapku tenang, padahal di dalam hati
bergumam “Asem mending buat les renang terus nyebrangnya berenag aja.”
Kemudian, Darmo, temanku sang putra daerah, mencoba
bernegosiasi dengan bapak tersebut. Dengan dialek dan tata bahasa Jawa yang
saya tidak mengerti, akhirnya kami sampai di kesepakatan.
“100 ribu, PP. Tapi jangan lebih dari jam 6.”. Wow, hebat juga negonya.
Kami pun naik ke kapal dan memulai penyebrangan. Pulau
Sempu sebetulnya sangat dekat, namun tempat pendaratan kami adalah di sekitar
sisi barat dari pulau.
Kurang lebih 20 menit di kapal, kami pun sampai di tempat
pendaratan. Kami mendarat bukan di dermaga atau jetty, namun di tempat dangkal di zona pasang surut dimana kaki
kami bisa menapak dengan terendam selutut, namun kapal tidak terdampar. Waktu menunjukan
pukul 13 lewat 30 menit.
“Satu-satunya bangunan di
pulau cuman pos ini aja, mas. Pulau ini juga gak berpenghuni.”, ujar mas Dana,
teman baru sekaligus juru kuncen tak resmi dari pulau ini. Seperti pesisir pada
umumnya, pulau ini banyak terdapat batu, karang, serta pohon dan perdu dengan
akar yang bercabang banyak. Di pulau ini juga terdapat binatang liar. Dan yang
paling ditakuti, ialah monyet-monyet.
Destinasi kami semenjak menginjakan
kaki di pulau ini adalah Segoro Anakan,
sebuah pantai yang terkepung oleh formasi karang, dan menurut saya, serupa
dengan sebuah laguna. Segoro Anakan terletak
dibagian barat daya-selatan pulau, dengan waktu tempuh ±2 jam dengan berjalan
kaki. Yang unik dari Segoro Anakan
adalah air laut yang masuk ke laguna ini berasal dari sebuah lubang besar dengan
diameter ±6 meter di formasi karang, yang mana ketika ombak besar atau pasang
maksimum, air akan menghambur karena menabrak karang dan masuk melewat lubang
tersebut bak dibuang dari gayung.
Untuk mencapai sana, sobat baru kami mas Dana memilih
rute menyusuri pesisir pulau. “Biar tidak tersasar mas.”, ujarnya setelah ditanya
Hemm, ternyata bisa tersasar juga ya. Sesekali kami berbelok
ke bagian dalam pulau, untuk kemudian kembali lagi ke pesisir. Meskipun di
pesisir, namun jalan yang kami lalui memiliki elevasi 5-10 meter dpl, alias
kami berjalan di tebing pantai. Perjalanan yang kami lakukan ketika puasa membuat
kami berandai-andati apakah air laut itu bisa diminum karena kami sangat haus.
Singkat cerita, jam menunjukan pukul 15.30 dan belum ada
tanda-tanda kami sampai di tujuan.
“Kita gak nyasar kan?”, ujarku iseng.
“Enggak kok, mas. Sebentar lagi.”, balas mas Dana, sang
juru kunci.
Benar saja, setelah sebuah trek tanjakan, kami melihat
muka, namun, berada di sebuah kolam yang dikelilingi oleh karang dan pohon.
Benar. Kami sudah sampai di Segoro Anakan.
Rasanya sangat lega. Selain karena rasa capek yang
terbayarkan, kami pun berada di tempat yang, boleh dibilang, pertama kali
jenisnya kami kunjungi. Air disini asin. Tidak ada suplai air tawar dari manapun.
Dan juga tidak ada siapapun kecuali saya, Darmo, Rifqi, Nui, dan mas Dana. Kami
pun berjalan-jalan, berfoto-foto, dan lain-lain..pokoknya sepuas kami disana.
Sepertinya waktu itu sedang surut, sehingga kami
tidak dapat melihat pertunjukan banjuran
air yang melewati lubang di formasi karang yang selalu dibilang orang itu.
Namun tetap saja, kami dibuat takjub dan kagum oleh penampang alam yang indah
ini. “Di Tangerang Selatan mana ada yang seperti ini”, gumam saya. Sekedar
info, Tangerang Selatan adalah kota asal saya, hehe. Saya pun me-recall dan mencoba menebak-nebak “ini
kenapa bentuknya kayak gini?”, “siapa yang pertama kali nemun”, “jangan-jangan
ada suku pedalaman disana”, “sejarah pembentukannya gimana ya?” dan lain-lain.
Namun, semua itu buyar setelah saya ditekel untuk jatuh ke air. “Oh, perang”,
dan saya tekel balik teman, dan seterusnya seterusnya looping sampai kami semua basah dibarengi kesadaran bahwa dari kami
tidak ada yang membawa baju ganti..kecuali saya.
Setelah puas bermain air-pasir-kerikil, kami pun bergegas
untuk kembali ke tempat pendaratan untuk dijemput kembali ke pulau utama.
Sepanjang perjalanan, kami banyak berbicara banyak hal, terutama tentang pulau
ini. Saya akui, perjalanan ini, walaupun sebentar, sangat berkesan bagi saya.Pukul
17.45, kapal pun datang dan kami berlayar menujur tanah jawa.
Tepat sebelum
berpisah dengan mas Dana, saya sempatkan bertanya ke dia, “Mas, Segoro Anakan itu artinya apa sih?”. Dia
menjawab, “Anak Laut.”